Khutbah Jumat: Wakaf dalam Lintasan Sejarah

Khutbah Jumat: Wakaf dalam Lintasan Sejarah

Khutbah Jumat: Wakaf dalam Lintasan Sejarah. Salah satu misi utama hukum Islam adalah, sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilal-nilai keimanan hukum Islam juga berfungsi mengemban tanggung jawab masyarakat, baik itu keadilan hukum, keadilan sosial, maupun keadilan ekonomi.

Pada sisi lain, Islam memandang harta dan kekayaan sebagai amanat yang diberikan oleh Allah SWT,yang harus menjadi perekat dalam membangun persaudaraan dan kebersamaan. Doktrin hukum Islam berupa kewajiban bagi mereka yang kaya untuk mendistribusikan keadilan ekonomi, bertujuan agar kekayaan tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya saja. Selain itu, juga bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan sosial antara si kaya dengan si miskin. Dari sinilah terciptanya masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Allah SWT berfirman yang artinya:

Apa saja harta rampasan perng yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dad penduduk kota, maka adalah untuk Allah, Rasul dan kerabat rasu/, anak-anak yatim orang-orang miskin dan orang-orang yang da/am perja/anan, supaya harta itu tidak hanya beredar di ka/angan orang-orang kaya saja diantara kamu ....(OS. AI-Hasyr : 7)

Diantara program yang dianjurkan Islam untuk dilaksanakan kaum muslimin adalah wakaf. Wakaf, merupakan central voluntary ekonomi Islam yang berfungsi sebagai asset konstruksi pembangunan, demi kesejahteraan masyarakat. Pada prinsipnya, wakaf merupakan ajaran anjuran kepada si kaya untuk memperhatikan orang-orang yang kurang mampu, dengan cara mendermakan dana abadi yang dikelola, dan hasilnya dimanfaatkan untuk membantu kebutuhan, membina dan mengangkat derajat manusia.

Wakaf memiliki akar keislaman yang kuat, meskipun Al Qur'an tidak menyebutkan secara eksplisit akan istilah wakaf. Tetapi jelas, baikAI-Qur'an maupun hadits Nabi SAW, mengajarkan akan pentingnya berderma, sebagai bahan pengetahuan, pada kesempatan kali ini, khatib sengaja ingin menjelaskan secara pintas tentang sejarah wakaf, mudah-mudahan ada manfaatnya. Amin.

Pertama, bagaimana praktek wakaf sebelum Islam? Secara syariat, wakaf berarti menyerahkan harta kepada seseorang atau lembaga untuk dikelola dan manfaatnya diperuntukkan kepada khalayak ramai yang membutuhkannya dengan niat IiIlahi ta'alla.

Jika merujuk pada definisi wakaf tadi, ternyata praktek wakaf semacam itu sudah jauh dikenal sebelum datangnya Islam. Meskipun dalam bentuk dan nama atau istilah yang berbeda. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya tempat-tempat ibadah yang dibangun, dikelola dan dirawat, sedang hasilnya digunakan untuk membiayai perawatan dan honor pengelolanya. Contoh konkritnya adalah Masjid AI-Aqsha dan Masjid AI-Haram yang memang telah berdiri sejak sebelum Nabi Muhammad SAW lahir.

Demikian pula halnya yang dilakukan oleh para raja Mesir kuno, Kaisar Roma, Cina dan Jerman. Umumnya, harta yang telah diwakafkan tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan juga tidak boleh dihibahkan. Namun, harta tersebut hanya boleh dikelola dan dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan umum.

Singkatnya, sejak dahulu, wakaf telah dipraktekkan dalam dua bentuk, yaitu wakaf keluarga AI-Waqful Ahli dan wakaf umum AI-wafqul Ghairi.

Selanjutnya, bagaimana wakaf pada masa Rasulullah SAW. Dalam sejarah Islam, wakaf telah diisyaratkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Tepatnya pada tahun kedua Hijriyah. Tetapi, ada dua pendapat berkaitan dengan siapa yang pertama kali melaksanakan wakaf. Pendapat pertama menyatakan bahwa RasulullahSAWyang pertama kali melaksanakan wakaf, yaitu wakaf tanah milik beliau untukdigunakan Masjid. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Umar Bin Syabah dari Amr Bin Saad Mu'ad, ia berkata;

Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam. Orang Muhajirinmengatakan adalah wakaf Umar. Sedangkan orang-orang Anshar mengatakan adalah wakaf Rasullullah SAW (Asy-Syaukani : 129)

Juga dijelaskan, bahwa Rasulullah SAW pernah mewakafkan tujuh kebun kurmanya di Madinah, diantaranya kebun A'raf, Shafiyah, Dalal, 8arqah dan kebun kurma lainnya.

Adapun pendapat yang kedua menyatakan, bahwa yang pertama kall melaksanakan wakaf adalah Umar bin Khattab, pendapat ini berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra:

Dari Ibnu Umar ra, berkata bahwa sahabat Umar memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap Rasulullah SAW untuk memohon petunjuk. Umar berkata 'ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibarm saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu,maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah SAWmenjawab 'bilakamu suka, kamu tahan pokok tanah itu dan kamu sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar u Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai (mengurus) tanah wakaf tersebut untuk makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Mulsim)

Hadits dari Ibnu Umar tadi menjadi landasan ajaran wakaf dalam Islam. Dari hadits di atas, setidaknya ada lima prinsip umum sebagai kerangka wakaf:

  1. Kedudukan wakaf sebagai sedekah sunnah yang berbeda dengan zakat 
  2. Harta wakaftidak boleh dijual belikan, diwariskan, dihibahkan ataupun disumbangkan  
  3. Asset wakaf harus dikelola secara produktif dan professional
  4. Hasil wakaf harus diperuntukkan untuk tujuan yang baik 
  5. Pengelola wakaf boleh mendapatkan bagian yang wajar dar hasll pengelolaan wakaf tersebut. Contoh yang dilakukan Umar tadi, diikuti oleh para sahabat lainnya. Seperti Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya. Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah yang khusus diperuntukkan bagi anak keturunannya yang dakat ke Mekah. Demikian juga Utsman, yang menyedekahkan hartanya di Khaibar ksfllah. Juga Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Sahabat Mu'ad bin Jabal mewakafkan rumahnya dengan sebutan Darul Anshar. Selanjutnya juga diikuti oleh para sahabat lainnya seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam, Aisyah dan lain sebagainya.

Dimasa khulafaurrasyidin dan pada masa-masa setelahnya, perkembangan wakaf terkait erat dengan dinamika sosial ekonomi, dan keagamaan masyarakat muslim. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa awal pembentukan masyarakat muslim, kaum muslimin terlibat aktif dalam kegiatan penaklukkan wilayah-wilayah baru diluar Hijaz. Seiring dengan kegiatan tersebut, kaum muslimin banyak membutuhkan sarana dan prasarana untuk keperluan ibadah keagamaan maupun militer. Misalnya masjid, kuda, senjata, budak, tempat berteduh para prajurit dan lain sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan inilah, praktek wakaf banyak dilakukan kaum muslimin, baik secara individu maupun Negara.

Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, praktek wakaf semakin luas. Semua orang berlomba-Iomba untuk melaksanakannya. Pada masa dinasti ini, wakaf tidak hanya diperuntukkan bagi kaum miskin, tetapi juga dijadikan modaluntuk membangun lembaga pendidikan, perpustakaan, dan membayar gaji para stafnya, membayar gaji guru dan memberikan beasiswa kepada para pelajar dan mahasiswa.

Manariknya, pemerintah memberikan perhatian yang besar terhadap antusiasme masyarakat untuk berwakaf. Dengan mengatur pengelolaan wakaf, sebagai sektor tersendiri dalam membangun solidaritas sosial dan ekonomi rakyat. Termasuk tata cara pengelolaannya, pemeliharaannya dan penggunaan harta wakaf tersebut.

Pada masa Dinasti Umayyah, khususnya pada masa Hisyam Ibn Abdul Malik, yang menjadi hakim mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadrami. Beliaulah yang pertama kali melakukan pengembangan dan pengelolaan wakaf di Mesir dan bashrah, terutama dengan pembentuk lembaga wakaf sendiri, dibawah pengawasan hakim

Pada masa Dinasti Abbasiyyah, terdapat Jembagawakaf yang disebut Shadr al-Wukufyang bertugas mengurusi administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf menjadi lebih terorganisir baik secara administrasi maupun pengelolaannya, dengan demikian manfaat wakaf juga lebih semakin terasa oleh rakyat banyak.

Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, harnpir semua tanah pertanian menjadi harta wakaf, dan semua dikelola oleh Negara dan bahkan menjadi milik Negara dibawah kendali Baitul Maal. Hal ini tidak mengherankan, karena Negara Ayyubiyah adalah Negara militer yang menganut sistem oligarkhi, dimana struktur pemerintahan Negara disusun berdasarkan struktur militer.

Ketika Shalahudin AI-Ayubbi memerintah, ia berusaha memamfaatkan tanah-tanah milik Negara untuk diserahkan kepada yayasan keagamaan dan sosial. Tindakan ini dilakukan dengan mencontoh praktek wakaf sebelumnya yang dilaukan dinasti Fathimiyah. Dinasti inilah yang mendirikan Universitas Al Azhar Kairo, terutama pad a masa Sultan AI-Muidz Li Dinillah yang memerintah panglimanya Jauhar AI-Siqqli untuk masih berdiri megah, dengan ribuan mahasiswanya. Hebatnya, semua diberi beasiswa dari hasil pengelolaan wakaf.

Shalahudin AI-Ayyubi adalah orang yang banyak mewakafkan lahan milik Negara untuk kegiatan pendidikan. Misalnya beberapa desa ia wakafkan untuk pengembangan Madrasah Syafi'iyyah, Madrasah Malikiyah dan juga Hanafiyah. Hal ini diperkuat dengan adanya fatwa ulama Mesir yang bernama Ibnu Ishrun dan beberapa ulama lainnya, yang memperbdlehkan mewakafkan harta milik Negara kepada yayasan keagamaan dan sosial, untuk tujuan memelihara kekayaan Negara itu sendiri. Bahkan Shalahudin al-Ayyubi menetapkan kebijakan, bagi orangorang nasrani yang datang dari Iskandariyah untuk berdagang, wajib membayar bea cukai dan hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada Ahli Fiqih dan keturunanya hal ini sebagai upaya mensejahterakan ulama.

Sungguh usaha yang luar biasa. Andaikan di Indonesia, wakaf dikelola sedemikian rupa, termasuk didalamnya untuk mensejahterakan ulama, da'i, ustadz ataupun muballigh. Khatib yakin jika hal itu terwujud, semua pendakwah apapun nama dan gelarnya akan berkonsentrasi penuh dalam mensyiarkan agama Allah SWT.

Pada masa Dinasti Mamluk, aktivitas wakaf sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga pada masa itu apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Benda yang paling banyak
diwakafkan adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan, dan ruang belajar.

Yang menakjubkan adalah, hasil pengelolaan wakaf itu juga diperuntukkan guna kepentingan sarana di Haramain (Mekah dan Madinah), seperti wakaf untuk kain kiswah Ka'bah dan untuk kain penutup kubur Nabi SAW di Madinah. Hal ini, sebagaimana yang dilakukan Sultan Shaleh bin AI-Nasir. yang membeli desa Bisus, untuk diwakafkan demi kepentingan kiswah Ka'bah setiap tahunnya dan kain penutup makam Nabi SAW setiap lima tahun sekali.

Karena besarnya manfaat wakaf bagi kelangsungan roda ekonomi dan kegiatan dakwah, maka sultan AI-Dzahir Bibers AIBandaqari (1277 M) salah seorang raja Dinasti Mamluk, menerbitkan undang-undang wakaf untuk pertama kalinya. Berkaitan dengan hal ini, ia memilih hakim dari masing-masing mazhab untuk mengurusi masalah perwakafan.

Tahun 1280 Hijriyah, pemerintah Turki Utsmani mengeluarkan UU yang mengatur masalah pembukuan pelaksanaan wakaf. Dalam UU, diatur masalah pencatatan wakaf, sertikifasi wakaf, tata cara pengelolaan wakaf, upaya untuk mencapai tujuan wakaf dan lain sebagianya. Pada tahun 1287 H pemerintah Turki juga mengeluarkan UU tentang kedududkan tanah produktif kekuasaan Turki yang berstatus wakaf.

Menjelang abad ke-20 Masehi, terutanma pada masa kekuasaan Muhammad Ali Pasha, tahun 1891 M, ia berusaha mengatur praktek perwakafan dengan cara Diwan AI-Wukuf yang berwenang untuk mengatur dan mengurus wakaf serta membuat perencanaan untuk mengelola wakaf secara produktif. Demikianlah masa kejayaan wakaf dalam sejarah Islam. Saat itu, wakaf telah meliputi berbagai benda, masjid, sekolah, tanah pertanian, rumah, perkebunan, pabrik, gedung, gudang beras, dan lain-lain. Jadi wakaf tidak hanya tetbatas pada tanah kuburan dan tempat ibadah saja, tetapi diperuntukkan guna kegiatan yang sifatnya lebih luas, terutama untuk kepentingan umum yang bersifat lintas agama, lintas suku, maupun etnis.

Saat ini, masyarakat kita masih banyak yang membutuhkan uluran tangan dari para aghniya (orang orang kaya). Kebutuhan mereka itu harus mendapatkan apresiasi maksimal, dan harus diorganisir serta dikelola agar tujuan yang hendak dicapai dapat terarah dan megenai sasaran. (Sumber: Buku Kumpulan Khutbah Wakaf, Kementrian Agama RI)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Ar-Rahman dan Terjemahan (Artinya)

Tafsir Ayat-ayat Al-Quran Tentang Qada dan Qadar

Ayat-ayat Al-Quran tentang Berpakaian dan Kewajiban Menutup Aurat